Hampir
setengah jam berlalu sejak bel bubaran sekolah berbunyi. Frekuensi munculnya murid-murid
berseragam putih merah sudah mulai berkurang, hanya menyisakan satu dua. Lalu, kemana
adikku ? Aku belum menemukannya berlari lincah ke arahku. Ini bukan kali
pertama aku menjemputnya, ngga mungkin dia ngga melihatku kan? Aku berdiri di
bawah pohon rindang, tempat terstrategis untuk dilihat.
Aku
memutuskan menghampiri kelasnya, 2 A. Sesampainya di kelas, aku melihat seorang
guru sedang mengusap-usap kepala seorang gadis kecil dengan lembut; keibuan. Aku
tersenyum. Eh, tapi tunggu! Itu adikku?
“Lia..”
panggilku dari depan pintu kelas. Serentak mereka menoleh ke arahku. Lalu
adikku langsung berlari menghampiri dan memelukku, dengan isakan tangis yang
tersisa dan hidung yang memerah. Ibu guru yang keibuan itu juga berjalan
menghampiri kami.
“Lia
sedih. Nilai ulangannya tidak sempurna hari ini. Tapi ada anak baru yang
mendapat nilai sempurna” kata Ibu Guru.
“Memang
Lia dapat nilai berapa bu?” tanyaku.
“Delapan”
ujarnya sambil tersenyum.
Aku
menggigit bibir. Ini siapa sih yang ngajarin dia perfeksionis begini? Perasaan
dulu aku dapat nilai delapan aja ngga nyampe nangis begini. Ampun deh.
“Lia
kita pulang sekarang ya?” Yang ditanya hanya mengangguk lemah. “Bu, saya pamit
dulu ya. Terima kasih” Aku memberi kode agar lia melepaskan pelukannya. Ngga
mungkin dia meluk aku sampai parkiran kan?
“Oh
iya iya. Hati-hati”
“Permisi”
aku berjalan sambil menggandeng tangan Lia.
***
“Itu
namanya Rival” kataku saat kami sudah berada di dalam mobil. Lia masih
merenggut, enggan menanggapi sepertinya, tapi dugaanku salah.
“Namanya
Redo Ka, bukan Rival”
“Rival
itu artinya saingan Lia, bukan nama orang” Aku mengendarai mobil dengan
kecepatan sedang.
“Rival?
Saingan?” tanyanya polos.
“Iya,
seseorang yang berusaha mencapai apa yang kamu capai. Mencapai yang lebih baik
dari yang Lia capai”
“Aku
ngga mau punya Rival ka. Aku mau selalu menjadi yang paling pintar di kelas”
Lia
ini anak kelas dua sekolah dasar kan? Kalau pikirannya kaya begitu, wajar ngga
sih? Aku menggaruk kepala yang tak gatal.
“Kalau
Lia ngga punya Rival, Lia bakal jadi anak yang sombong. Selalu merasa menang
karena ngga ada yang ngalahin. Lia mau jadi anak sombong dan ngga punya teman?” Lia menggeleng.
“Kalau
Lia punya saingan, Lia akan berusaha merebut lagi apa yang saingan Lia udah rebut
kan? Lia akan berusaha dengan belajar lebih giat, Insya Allah jadi lebih
menghargai apa yang Lia sudah dapatkan. Ngga jadi anak sombong deh” Aku
menjawil hidungnya. Ia tertawa.
“Karena
yang terbaik ngga selamanya jadi terbaik ya ka?” Kali ini aku mengangguk.
Blogwalking clothing :)-------------------> pammadistro.blogspot.com
BalasHapus