Suasana warung tenda
siang ini sepi, mungkin karena jam makan siang sudah berlalu sekitar dua jam.
Hanya aku, penjual, dan seorang pria kurus berkacamata--yang sedang menelpon.
Warung ini terlalu sepi sehingga aku dapat mendengar percakapan pria tersebut, percakapan
sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Dan semua percakapan itu ditutup dengan
sebuah pertanyaan “kapan sebar undangan
gung?”. Aku menyeruput es jeruk yang ada sambil memainkan sedotannya
sekali-kali. “wess.. semoga lancar ya
gung sampai hari H, Aamiin.. Aamiin, ya.. sudah dulu ya, oke. Assalamualaikum”
***
Sudah tidak ada jadwal
mengajar di kampus setelah makan siang yang terlambat dua jam tersebut, aku memutuskan ke tempat percetakan.
Bukan percetakan buku yang biasa ku kunjungi. Percetakan undangan. Aku menyebut
namanya saat receptionist menanyakan “atas nama siapa mba?”. Lima menit
berlalu, terdiam. Merenung. Mengapa aku bisa melangkahkan kaki ke tempat ini
untuk yang pertama kali? Padahal dia sudah berkali-kali ke tempat ini, mengurus
segalanya, sendiri. Semua karena percakapan
pria kurus di warung.
“ini mba undangannya.
Minggu depan semua selesai dicetak” tutur receptionist itu dengan ramah. Aku
mengangguk, mengambil undangan milikku, dan memilih “menikmati” undangan yang
sedang ku pegang sambil duduk di sudut ruangan.
Warnanya silver, sesuai
permintaanku.
Aku
membuka halaman pertama undangan, tertulis puisi hasil rangkaian kata
buatannya. Puisi yang indah, bukan sebuah roman picisan. Mataku berkaca-kaca,
bagian ini bukan permintaanku. Halaman kedua, tertulis namaku dan namanya,
lokasi, dan jadwal acara. Halaman terakhir, tertulis janji seorang pria dewasa
untuk wanita pilihannya. Pria itu dia, dan aku sebagai wanitanya. Ia amat
mencintaiku, dan ia ingin semua orang tahu lewat undangan ini.
Ayah
memilihkan pria yang paling tepat untuk jadi pendampingku, aku terlambat
menyadari kalau dia akan menjadi yang terbaik.
Dia yang terbaik.
Lagi, bagian
dari halaman terakhir ini bukan permintaanku.
Aku mengambil telepon
genggam dari saku dan menghubunginya. Sambungan ketiga telepon itu diangkat,
diawali sapaan hangat dan pertanyaan “Lagi dimana?”
Aku menghembuskan
nafas. Pergi ke tempat ini menunjukkan aku berdamai dengan kenyataan. Dia yang terbaik, tegasku sekali lagi.
“Di percetakan” jawabku singkat.
“Percetakan buku?
Nyerahin naskah buku baru?” aku menggeleng, walau ia tak bisa melihat.
“Engga, aku lagi di
percetakan undangan. Puisinya indah, terima kasih ya”. Ya Tuhan, saat ini aku
ingin melihat ekspresi wajahnya.
“…” tidak ada jawaban,
aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan di kantor itu.
“Minggu depan, semua
undangan selesai dicetak. Minggu depan, kita sama-sama ya ke percetakan untuk
ngambil si Silver yang berkilau ini?”
“Tentu” hanya itu
jawabnya. Kalimat singkat yang diucap dengan senyum kemenangan yang terhias.
Aku tidak bisa melihatnya tapi aku bisa merasakannya.
“Nanti kita sebar
undangan sama-sama. Aku tak akan membiarkan kau mengurus ini sendirian lagi,
maafkan aku”
Percakapan via telpon
itu ditutup dengan sebuah kalimat yang tak pernah sama sekali ia berani ucapkan
sebelumnya. “I Love You”
Aku sedikit ragu
membalasnya dan terpatah untuk berkata “me-too”. Tapi aku berjanji mulai detik
ini, aku akan belajar lebih banyak mengucapkan kalimat itu untuknya. Hanya
untuknya, bukan untuk yang lain. Kisah yang lalu telah selesai. Dan hatiku
telah memilih. Dia.
0 komentar:
Posting Komentar