Setiap hari
mataku tertuju pada deretan tanggal kalender di bulan desember. Waktu kenapa
cepat sekali berlalu, perasaan baru kemarin aku lulus kuliah, diterima jadi
karyawan percobaan selama tiga bulan di perusahaan ayah, lalu diangkat jadi
karyawan tetap. Dari semua bulan berlalu di tahun dua-ribu-tiga-belas nasib
percintaanku lagi dalam tahap buruk-buruknya, aku jomblo sepanjang tahun ini.
“Dena, ngapain
kalender dilihatin mulu kaya gitu” aku tersadar dari lamunan ingatan masa lalu
setelah Mas Miko—karyawan kepercayaan atasan departemen logistik—menegurku. Di
perusahaan ayah, aku bekerja di bagian logistik. Awalnya aku menolak bekerja di
perusahaan ini, karena ayah langsung memberikan posisi penting di perusahaan, tapi
aku sadar, kemampuanku belum mampu untuk menghandle posisi yang ditawarkan.
Akhirnya, aku menolak posisi yang ditawarkan dan menyetujui untuk bekerja di
perusahaan ayah dengan beberapa syarat, salah satunya tidak untuk ditempatkan
pada posisi penting pada perusahaan!
“Eh mas mik, iya
nih aku kok jomblo terus ya? Mas mik ngga ada kenalan apa yang cakep-cakep gitu?”
Mas miko yang
ada di samping kubikelku mendekat ke arahku lalu menempelkan punggung tangannya
ke dahiku kemudian berkata “Engga panas kok, kamu engga sakit, kok ngelantur
sih den?”
Dahiku berkerut
“Astaga maksud mas mik? Aku serius kali, ini yah mas mik, sepanjang tahun 2013
aku tuh jomblo. Udah ganti status dari mahasiswi ke karyawan tetap aja aku
jomblo…” Sebelum aku selesai berbicara mas miko langsung memotong kalimatku
sambil memberikan setumpuk dokumen yang telah dipegangnya. Hah. Seharusnya aku
tahu dari awal apa tujuan mas miko menghampiriku!
“Nih! Ini sudah
bulan Desember, artinya semua karyawan akan disibukkan dengan laporan akhir
tahun. Tidak terkecuali kamu. Oke? Bantu saya periksa dokumen ini, jam empat
sore sudah harus selesai” mataku membulat kemudian berkata “Dokumennya banyak
banget ini, mas miko kok tega sih?”
“Tidak ada
perlakuan istimewa buat anak owner perusahaan bukan?”
Skakmat.
Lalu mas miko
berlalu dari kubikelku dan meninggalkan wangi parfum maskulin yang selalu
dikenakannya setiap hari. Dan aku menyukai wangi parfum tersebut.
***
Telepon di meja
kantorku berbunyi sesaat setelah menyerahkan dokumen yang sudah diperiksa
kepada mas miko. Segera aku mengangkatnya.
“Hallo, selamat
sore, dengan Dena Mirella ada yang bisa dibantu?”
“Nak.. nanti
kamu pulangnya bareng miko saja ya. Ayah sudah contact dia barusan, dia
bersedia untuk mengantar kamu sampai rumah”
“Hah????”
“Kamu pulang
sama miko. Sudah ya, ayah banyak kerjaan” KLIK. Telepon ditutup.
Aku langsung
memijat dahiku, pusing. Aku tidak mengerti sikap ayah, biasanya ia membiarkan
aku pulang sendirian atau diantar dengan fasilitas mobil kantor. Kenapa juga
harus berhubungan dengan mas miko lagi hari ini, Ya Tuhan?
Aku melirik jam,
sebentar lagi waktu pulang dan akhirnya aku mempersiapkan hati dan pikiran
untuk melewati kejamnya kemacetan Jakarta di sore hari bersama mas miko.
***
Disinilah aku
berada, dalam mobil mas Miko Brahmana. Karyawan kepercayaan Pak Hari—atasanku—yang
memiliki fisik hampir sempurna. Mas miko adalah dambaan kaum hawa, dan ancaman
bagi kaum adam. Satu hal yang paling aku sukai pada fisik mas miko adalah
lesung pipi yang akan muncul saat lelaki ini tersenyum. Umurnya sudah 26 tahun,
dan masih single. Aku rasa ia adalah tipe pemilih garis keras, tidak mungkin
tidak ada hawa yang tidak menyukai dirinya. Aku menyukainya juga, tapi tidak
ingin memilikinya, entah kenapa.
“Kamu lapar
den?” mas miko bersuara dengan tatapan tetap fokus pada jalan raya yang padat
merayap.
“Engga kok mas,
kenapa emang?”
“Lagian diem
aja, cerita dong. Bukan pertama kali semobil sama saya kan?” lanjutnya.
Iya bukan pertama kali. Tapi pertama kali untuk
nganterin aku pulang ke rumah. Tiba-tiba terlintas pikiran untuk
bertanya kenapa lelaki ini bisa diperintah ayah untuk mengantarku.
“Mas, kok bisa
disuruh ngantarin aku pulang sih?”
Ia diam beberapa
detik lalu menjawab “Saya juga ngga tau sih kenapa. Biar kita dekat kali”
Aku langsung
bereaksi “Heh, maksud mas mik? Ayah lagi ngga mau jodohin kita kan?”
Astaga, aku
berbicara apa barusan. Mas miko langsung mengalihkan pandangannya menatapku,
dan tersenyum. Astaga senyuman itu… “Bisa jadi den” lagi sambil tersenyum..
Seketika aku
ingin meralat ucapanku barusan dan ingin pingsan! Detik kemudian ia
membicarakan sebuah topik yang membuat aku tertarik “Tadi pagi kamu nanyain
kenalan aku yang cakep-cakep kan?”
Aku lantas
menatapnya “Heh masih inget toh, iya nih mas. Ada kenalan ga?”
“Saya kan jomblo
den, kenapa ngga sama saya saja sih?” aku menatapnya sinis. Dan terdiam, aku
berjanji tidak akan berkata sepatah kata apapun pada pengemudi ‘penggoda’ ini
sampai tiba di rumah.
“Becanda den!
Tenang, saya punya kenalan banyak, nanti saya seleksi yang terbaik untuk kamu.
Nanti saya juga atur ketemuan kalian deh. Pokoknya anak owner terima beres”
terangnya sambil tersenyum menatapku yang tetap terdiam. Please mas miko! Ngga usah pake senyum, senyummu itu menggoda iman!!
***
Hari di bulan
Desember berlalu sangat cepat dan sudah memasuki minggu ketiga. Tanggal 20!
Natal dan Tahun Baru akan segera menyambut. Liburan akhir tahun yang didamba
akan segera datang. Ah rasanya aku ingin cepat liburan setelah kerja rodi
bersama karyawan dan divisi lain untuk menyelesaikan laporan akhir tahun. Dikit
dikit revisi dikit dikit revisi itulah atasan departemen logistik, orangnya
perfeksionis, tak heran banyak karyawan yang lembur, tak terkecuali untuk aku.
Aku meniup
perlahan asap yang mengepul dari cangkir teh manis yang baru aku buat di pantry
sambil melihat ke arah luar jendela dimana langit sedang menurunkan rintik
hujan. Kebetulan kubikelku berada paling pojok, dekat jendela jadi aku dapat
melihat ke arah luar, melihat gedung pencakar langit dengan pemandangan yang
berkabut serta kemacetan lalu lintas Jakarta siang itu.
Seseorang menepuk
lembut pundakku “Dena..”
Aku memutar
kursi ke arah orang tersebut, dan ternyata “Mas miko? Ada apa?”
Ia menarik
sebuah kursi yang ada di depan kubikelku yang kosong “I need your help den. Mau
bantu ngga?”
“Heh, tentu
mas.. mau dibantuin apa?”
“Adikku hari ini
datang dari Surabaya. Saya sudah janji jemput, tapi ada revisi mendadak dari
Pak Hari. Kamu mau jemputin dia ga? Semua izin nanti saya yang ngurus. Kamu
pake mobil saya saja”
Aku berpikir
sejenak “Kenapa harus aku ya mas?”
Ia berpikir
kembali “Soalnya..” ia memelankan suaranya “Semua pada sibuk, cuma kamu
karyawan yang ngga terlalu sibuk banget. Please!” melihat mas miko memohon
seperti itu mana tega aku menolak. Tapi sebelumnya ia memberikan sebuah
sindiran atau pujian sih? Ah sudahlah, akhirnya aku menyetujui permintaannya
“Baik. Harus jemput dimana?”
“Stasiun Gambir.
Kereta tiba jam 15.30” aku melirik arloji di tangan kanan yang menunjukkan
pukul 14:30.
“Oke. Bisa kok,
yaudah aku langsung kesana mas” lalu aku berdiri dan mengambil kunci mobil yang
mas miko serahkan.
“Hati-hati ya.
Nanti detail tentang Adikku, aku message”
Aku mengangguk
setuju dan berlalu menuju basement dan pergi ke stasiun Gambir. Gambir.. sejuta
memori
***
Perjalanan dari
kantor menuju gambir berjalan lancar, tidak macet. Sekitar jam tiga aku sudah
menginjakkan kaki di stasiun. Sebuah pesan yang berisi detail adik mas miko
telah diberitahukan, aku mengamati pesan tersebut dengan saksama agar tidak
salah orang nantinya. Oh ternyata adiknya cowo, itu yang pertama kali ada di
benakku saat membaca pesan tersebut.
Aku memilih
menunggu di salah satu food court sembari mengisi perut yang entah kenapa kembali
meronta untuk ketiga kalinya hari ini.
Otakku membawa
kepada ingatan empat tahun ke belakang.
Gambir. Bagi orang lain ini hanyalah
sebuah stasiun, tempat naik turun penumpang kereta. Tapi bagiku Gambir adalah tempat
perpisahan bagi beberapa yang ditinggalkan.
Hari itu entah kenapa kami pergi tanpa tujuan, ia
pun tak semangat pergi jauh. Saat ia bertanya kemana kita, aku menyebut asal ‘Gambir’ karena itu yang
terlintas pertama di benakku.
“Mau ngapain kita ke gambir?” tanyanya pada saat mengendarai
motor.
“Jangan tanya kenapa, karena aku sendiri ngga tau
alasannya” jawabku dingin dan motor melaju sangat kencang. Rasyid namanya,
hubungan kami lebih dari sekedar berteman pastinya, dan sudah hampir empat
tahun dia menjadi pengisi hatiku.
Sesaat setelah memarkirkan motor, aku langsung
menggandeng tangannya. Membawanya pergi ke dalam stasiun. Menuju tempat orang
menunggu kereta, seolah-olah kami adalah calon penumpang juga. Menghabiskan waktu
berjam-jam melihat kereta berlalu lalang, berhenti untuk menurunkan penumpang
dan detik kemudian menaikkan penumpang lainnya.
“Mau sampai kapan disini? Kamu aneh” tanyanya
dingin. Sudah hampir tiga jam kami disini. Tanpa ada percakapan berarti.
“Bukan aku, tapi hubungan kita yang aneh” aku
menatap tajam matanya tepat di manik.
Ia menghela napas “Den, apa sih yang aneh? Aku
melakukan kesalahan? Kesalahan apa?”
Aku tak ingin mengucapkan ini, tapi sayangnya harus
diucapkan “Ada kesalahan syid. Minggu lalu, aku melihat kamu jalan sama junior
itu, dan yang paling penting aku tahu saat itu kamu ngungkapin perasaan kamu,
memintanya untuk jadi pacarmu dan ia mengangguk setuju. Benar begitu?”
Ekspresi mukanya langsung berubah membenarkan semua
yang telah terucap sebelumnya.Aku melanjutkan “Hubungan ini mungkin udah bikin
kamu jenuh, lebih baik kita sudahi saja syid”
Ia terdiam, bermenit-menit berlalu masih terdiam, tak
memberi sepatah kata apapun. Hingga akhirnya lelaki tampan yang menjadi kekasih
pertamaku ini berbicara dan menatapku “Maafin aku udah menduakanmu. Benar
katamu, ada rasa jenuh. Seharusnya aku ga melakukan ini. Aku terima keputusanmu.
Sekali lagi maafin aku”
Aku terdiam. Ia mengeluarkan handphone dari saku di
celana dan memencet nomor seseorang lalu bercakap “Nath, maaf kita ga bisa
nerusin hubungan ini” Klik. Diputus.
Sorotan matanya menggambarkan kekecewaan. Aku ingin
memberinya kesempatan sekali lagi saja, tapi hatiku yang lain memerintah
sebaliknya. Hubungan kami selesai hari itu.
***
Seseorang
menepuk pundakku, membuatku refleks berbalik. Otakku menganalisis sejenak
seseorang tersebut : Lelaki muda berhoodie biru tua dan kacamata frame hitam
lensa tipis, lelaki itu langsung berkata “Dena kan?”
Aku terdiam dan
langsung melihat ke arah kemeja peach yang aku kenakan, apakah aku menggunakan
name-tag kantor atau tidak, ternyata tidak. Lalu kenapa dia bisa tahu nama ku?
Seperti bisa menjawab pikiranku ia lanjut berkata “Aku tahu dari mas miko” ia
menjulurkan tangan mengajak bersalamman lantas aku menyambutnya. “Putra”
tambahnya. Ini adiknya mas miko!
Aku melirik
arloji yang menunjukkan jam 15:45, astaga. Apa yang aku lakukan dari tadi?
Melamun tiada henti selama lebih dari setengah jam? Dan orang yang seharusnya
aku jemput saat turun dari kereta nyatanya malah menjemputku di food court.
Aku lantas
berdiri dari dudukku dan meminta maaf kepada lelaki ini. Siapa tadi namanya?
Putra? “haduuhhh maaf banget maaf.. harusnya saya nunggu kamu di atas ya, malah
kamu yang nyamperin gini. Haduhh sekali lagi minta maaf”
Ia malah tertawa
melihat kelakuan aku barusan. Saat tertawa ada lesung pipi yang terukir, mirip
mas miko. Tidak diragukan ini pasti benar adik mas miko. “Ngga usah berlebihan,
itu bukan sebuah masalah. Lagi ngelamunin masa lalu ya?”
Skakmat.
“Heh? Engga kok
engga, mikirin laporan akhir tahun perusahaan” aku mengilah dan mencoba tertawa
tapi mata lelaki itu menatap tajam, mencoba menebak apakah aku berbohong atau
tidak. “Mau langsung ke kantor ketemu mas miko atau gimana?”
Selanjutnya ia
mengelus perut dan aku mengerti. Dia ke food court karena kelaparan dan tidak
sengaja melihatku. Itu hipotesisku sementara.
“Oalah.. ya udah
kamu mau pesan apa?”
“Mau bakso
malang, kamu mau?” aku menggeleng sambil menunjuk piring bekas makanan yang
sebelumnya sudah ku pesan, kemudian dia melepaskan tas gembloknya dan
menaruhnya di kursi yang ada di depanku. Lalu dia tersenyum sekilas dan pergi
ke booth bakso malang.
***
Dua mangkuk bakso
malang kuah bening telah dihabiskan dalam tempo kurang dari sepuluh menit. “Lapar
banget ya tra?”
Ia yang sedang
menyeruput teh manis langsung melihat ke arahku “jarang yang memenggal namaku
dengan “Tra” kebanyakan “Put” atau “Ra”. Kamu yang pertama”
Aku merasakan
pipiku mulai memanas, kenapa ini? Kamu yang pertama? Dan lantunan salah satu lagu
band Geisha langsung bergema di kepalaku tanpa di perintah “Kamu berlebihan”
itu yang terucap dari bibirku.
“Kata mas miko
kamu masih single. Berarti aku ada kesempatan dong?”
“Hah? Aduh mas
miko udah cerita apa aja sih tentang aku? Kok bisa tahu gini? Eiya dari semua
itu tolong jelasin gimana caranya kamu bisa menemukanku disini. Kok bisa
tepat?”
Iya
mengangguk-angguk “Oke! Pertama! mas miko udah cerita banyak tentang kamu,
tentang kamu anak owner, tentang kejombloan kamu juga. Pokoknya banyak deh,
panjang. Yang mas miko tau, aku juga pasti tau.. Kedua? Hmmm.. Udah biarin aku saja dan
Tuhan yang tau gimana cara aku bisa menemukanmu”
Aku jadi ngeri
sama orang ini. Tidak hanya orang ini saja, tapi juga kakaknya. Adik kakak ini punya aura pemikat tanpa mereka sadari. Aku mendadak
lemas seketika.
***
Sepanjang
perjalanan menuju rumahku yang ditemani dengan kemacetan kami bercerita banyak
hal. Ternyata putra ini berumuran sebaya denganku. Kami wisuda di bulan yang
sama tahun ini. Ia lulusan salah satu universitas negeri terkemuka di Surabaya,
sekarang bekerja di perusahaan telekomunikasi yang ada di Surabaya.
“Kamu kapan
balik ke Surabaya?” ia seperti kakaknya, selalu fokus ke jalan raya.
“Tanggal 31.
Kamu mau antarin aku lagi ga?” aku yang sedang memainkan tab langsung
memusatkan perhatian pada sang pengemudi. Putra memiliki ketampanan yang hampir
sama dengan mas miko. Tapi otak dan hatiku berkata Putra lebih tampan. “Kenapa
harus aku?”
Ia langsung
menjawab tanpa berpikir panjang “Mas miko liburan ke bandung, orang tua di
Surabaya. Kalau ada yang bisa nemenin aku bakal minta temenin, itu juga kalau
kamu ga ada acara tahun baru sih”
Oiya. Malam
tahun baru. “Kenapa harus pas tanggal 31 sih? Kenapa ga tanggal 2 atau 3 gitu?
Sebentar amat di Jakarta”
“Aku ada project
bareng teman alumni kampus, kita udah nentuin tanggalnya dari bulan lalu”
Kemungkinan
besar aku akan free pada malam tahun baru. “Baiklah aku akan nemenin kamu” dan
senyum sama-sama menghiasi bibir kami.
***
Awal minggu
ke-empat di bulan Desember.
Aku melihat
karyawan berlalu-lalang dengan muka cerah di awal minggu ini. Bukannya muka
mereka seharusnya tidak secerah ini ? Ah mungkin karena hari rabu ada satu
tanggal merah, atau mereka akan segera cuti, atau karena bonus akhir tahun yang
sudah masuk ke rekening mereka? Dari jauh aku melihat mas miko menuju kubikelku?
Hari itu ia mengenakan kemeja coklat lengan panjang dipadu celana bahan berwarna
hitam dan sepatu pantopel. Tunggu, dia juga kelihatan cerah, dengan potongan
rambut barunya yang cepak sehingga menimbulkan rambut-rambut jabrik yang
membuat level ketampanannya meningkat 100%!
Benar saja dia
menghampiriku. “Hallo Dena!”
Aku membalasnya
dengan sebuah senyuman lalu berkata “Hallo juga mas mik!” Ia mengulurkan sebuah
kotak dan menaruhnya di mejaku, sambil berkata “ini ucapan makasih udah jemput
adikku”
“Ya ampun,
makasih banyak loh mas mik, ngerepotin gini”
“Tentu saja
tidak, saya yang ngerepotin kamu. Oiya adikku menitipkan sebuah pesan untukmu!”
“pesan? Pesan
apa?”
“pesannya ada di
dalam kotak tersebut” ia tersenyum dan bersiap untuk meninggalkan tempatku
kemudian berlalu.
Ada beberapa
makanan khas Surabaya dalam kotak tersebut, serta sebuah post-it “Selamat
bekerja” dengan tulisan Putra di bawahnya. Mendadak hatiku berbunga, aku
mempunyai feeling bagus untuk hubungan dengan adiknya mas miko.
***
Disinilah aku
berada. Di sebuah restoran western daerah Kemang bersama Putra. Ku kira pesan
yang disampaikan mas miko hanyalah sebuah lelucon, ternyata tidak. Adik mas
miko ini benar menjemputku dan membawaku ke restoran ini.
“Aku akan
menjemputmu setiap hari selama seminggu ini. Kamu tidak cuti kan?”
Aku yang sedang
memakan pasta merasa sedikit tersedak mendengar penawarannya itu. “Menjemputku?
Hah. Tak usah repot-repot. Aku bisa pulang pergi bersama ayah”
Untuk sekian
kalinya ia fokus menatapku dengan ekspresi yang sulit ku mengerti tapi membuai.
“Aku cuma sebentar di Jakarta. Jadi aku tidak mau melewatkan sebuah kesempatan
untuk mengenal dan mendekati mu”
Kali ini aku
beneran tersedak, Putra segera memberikanku segelas air putih yang lalu ku
habiskan segera airnya. Aku menyandarkan badanku pada sandaran kursi yang ada.
“Tra, kamu itu terlalu mengejutkan buat hidupku”
Ia tersenyum nakal
“Terserah kamu, intinya apakah kamu mengizinkan aku untuk menjemputmu ?” ia
benar-benar to-the-point. Aku berpikir sejenak kemudian mengangguk meyetujui
penawarannya.
Semenjak hari
itu hingga hari terakhir liburannya, Putra menyempatkan waktunya untuk mengantar
jemputku. Ayah sempat bingung awalnya, tapi kemudian ia menyetujuinya. Ayah pun
sempat mengomentari lelaki yang mengantarku seminggu ini. “Sepertinya kalian
cocok den, Ayah menyetujui jika kalian berhubungan lebih dari sekedar teman.
Sudah lama ayah tidak melihatmu memiliki kekasih. Santai sedikit dengan
pekerjaan lah den. Kamu ini masih muda kan. Carilah kekasih” Aku menyadari
kemudian, itu bukanlah sebuah komentar. Itu sebuah pembujukan.
Di hari libur
natal kemarin, aku dan Putra menghabiskan waktu seharian penuh hanya berdua
dengan pergi ke Dufan. Hal itu membuat kami semakin dekat, dan akhirnya sukses
membuat ada letupan kembang api di dadaku. Tepat di dalam kincir angin yang
sedang bergerak pelan tepat di paling atas aku berkata jujur dalam hati bahwa aku jatuh cinta kepada adik mas miko.
Ada hal sederhana yang membuatku jatuh cinta padanya dan itu tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata.
***
Akhir tahun
disambut dengan guyuran hujan pada pagi hari dan awan mendung sepanjang hari.
Aku masih mengulat di kasur, hari ini kantor diliburkan untuk cuti bersama.
Hawa pagi ini benar-benar dingin seperti di Puncak. Aku berjalan gontai menuju
jendela kamar, mengusap embun yang menempel di jendela dengan jari telunjuk. Melihat
keindahan yang tercipta dibalik guyuran hujan yang turun.
Malam ini, Putra
akan pulang ke Surabaya. Seminggu ini kami benar-benar bertemu setiap hari
tanpa terkecuali. Weekend Minggu kemarin kami mulai dengan melakukan jogging di
minggu pagi dilanjut sarapan bubur, marathon nonton DVD, mengacak dapur, duduk
santai di taman kota, dan ditutup dinner yang romantis.
Aku akan
mengantarnya ke stasiun, mas miko sudah di bandung bertemu dengan kekasihnya.
Iya, mas miko yang aku kira jomblo di akhir tahun ternyata sedang menjalin
hubungan dengan salah satu teman lama
yang tinggal di bandung.
“Mba mitha itu
cantik banget. Cocok sama mas miko. Semoga bisa lanjut ke pernikahan” itu
komentar putra saat aku tanya tentang kekasih kakaknya.
Waktu berlalu
cepat, sore ini putra sudah duduk manis di ruang tamu sambil bercengkrama
dengan ayah dan ibu. Putra adalah lelaki cerdas, pengetahuannya luas dan
kritis, tak heran ia cepat berbaur dengan ayah ibu. Dibalik semua itu, nasib
asmaranya kurang lebih sama denganku. Jomblo sepanjang tahun ini dan susah move on!
Entah kenapa, kami memiliki beberapa kesamaan. Apakah Tuhan memang sengaja
mempertemukan kami?
Makan malam
terakhir di tahun ini berlangsung menyenangkan. Kedua kakakku—Ka Raffa dan Ka
Ocha—yang baru kembali dari Makassar ikut makan malam bersama di rumah, ibu
sengaja menyiapkan makanan special buat kami, semua itu makin terasa lengkap
saat ayah juga mengajak Putra agar ikut bergabung. Momen ini tentunya tidak
terlepas dari ledekan kedua kakakku.
***
“Keretamu
berangkat jam berapa tra?” tanyaku saat kami sudah duduk di lobby stasiun.
“Nanti jam empat
pagi tanggal 1 Januari” jawabnya sambil membaca sebuah Koran harian ibukota.
“Hah? Serius?
Astaga putra.. kalau tau kamu berangkat jam empat pagi ngapain jam sebelas malam
kita udah di stasiun?” aku menatap lekat-lekat lelaki berkacamata tersebut
tapi ia masih sibuk dengan bacaannya. Suasana gambir malam ini tidak terlalu
ramai, cenderung sepi.
Kami sama-sama
diam dalam beberapa menit. Hingga ia mengenggam tanganku tiba-tiba dan berkata
“Aku mau menghabiskan detik-detik terakhir di tahun 2013 ini bersama seseorang
yang aku sayang. Seseorang yang aku baru kenal kurang dari setengah bulan. Tapi
mampu membuat hatiku jungkir balik, membuat aku merasakan rasa yang sudah lama
tidak pernah aku rasakan. Aku jatuh cinta padamu, den. Dan aku mau melewati detik
pertama di 2014 bersamamu juga”
Aku diam
mencerna semua perkataannya. Kemudian ia lanjut bercerita “Hari itu tiba-tiba
mas miko menelpon, katanya ada teman kantornya yang minta dicarikan kenalan, awalnya
aku tidak mengerti apa maksudnya. Esok harinya ia bercerita banyak tentang
kamu, hingga akhirnya aku disuruh berlibur ke Jakarta, awalnya aku tidak ada
niat sama sekali ke sini. Tapi mas miko terus membujuk hingga akhirnya aku mau.
Saat hari H, setengah jam sebelum kereta tiba, mas miko memberi tahu kalau kamu
yang menjemputku di gambir. Kamu tahu? Aku kaget, entahlah. Saat tiba, aku
melirik kanan kiri mencari orang yang menungguku, tapi tidak ada. Akhirnya ku
putuskan ke food court, ternyata aku melihatmu. Ya untunglah mas miko sudah
pernah mengirim fotomu”
Aku lemas,
ternyata ini semua sudah direncanakan oleh mas miko. “Dan aku langsung
menyukaimu saat itu. kamu boleh bilang ini gombal, kamu boleh ngga percaya, tapi
itu nyatanya”
Akun ingin
berkata, tapi bibirku terlalu kelu, aku tak sanggup berkata-kata. Aku
melihatnya. Ia selalu tampak cool, ia
punya banyak kelebihan salah satunya amat pandai mengatur emosi. Detik kemudian
kami bertatapan “Sudah hampir jam dua belas. Sebentar lagi pergantian tahun! Kita keluar dari stasiun dulu yuk!”
pintanya yang hanya ku setujui dengan sebuah anggukan dan senyum tipis.
Langit
berhiaskan banyak kembang api yang indah, arah monas ramai oleh pesta rakyat.
Kami mencari spot yang pas untuk melihat perayaan pergantian tahun dari Gambir.
“Lima menit lagi” bisiknya di telingaku. Aku mempererat genggaman tangan putra
yang belum dilepaskan dan ia memelukku saat detik terakhir tahun itu dan aku
tak kuasa untuk menolak.
Gemuruh kembang
api semakin menghiaskan langit di satu menit terakhir. Aku mendengar teriakan
masyarakat dari arah monas menghitung mundur “Limaa… Empat…. Tiga… Dua…. Satu… Happy
new year” suara terompet, kembang api, teriakan masyarakat dari arah monas melengkapi
perayaan malam tahun baru 2014.
“Happy new year
putra” akhirnya itu kalimat yang akhirnya aku ucapkan setelah hampir
berpuluh-puluh menit diam membeku. Ia melepaskan pelukannya dan menatapku
dengan lembut “Happy new year too! Semoga semua harapanmu di tahun ini dapat
terwujud” Aku tersenyum mengangguk. Detik kemudian, lelaki jangkung itu
mengungkapkan perasaannya kepadaku, meminta aku menjadi kekasihnya dan aku
menerimanya.
“You are
precious thing in my life” itu kalimat yang ia ucapkan sebelum masuk gerbong
kereta yang sudah tiba pagi itu. aku hanya membalasnya dengan sebuah kata “Gombal”
Kecupan manis
mendarat di dahiku serta pelukan hangat sekali lagi. Ia masuk ke gerbong, detik
kemudian pintu kereta tertutup dan kereta pun melaju.
Gambir. Di
tempat ini aku kehilangan cinta, dan di tempat ini juga aku menemukan cinta.
Gambir bagiku masih jadi tempat perpisahan bagi mereka yang sedang menjalin
kasih.
***
0 komentar:
Posting Komentar