Senin, 24 November 2014

[Writing Class] : Teman Hidup

Aku selalu tertarik pada pria-pria yang memutuskan untuk berkomitmen di awal umur dua puluh. Secara umur segitu adalah masa-masa beres sarjana dan pembentukan karir, mapan pun belum bisa dijamin. Lalu saat sang gadis bersedia menerima komitmen calon suami, menerima segala kondisinya dan bersedia mendampinginya saat suka dan duka. Oh, Tuhan kapan aku dipertemukan dengan seorang pria seperti itu? Aku siap dan aku bersedia ada di sampingnya saat masa-masa tersulitnya juga masa-masa kemenangannya, aku bersedia mendengar keluh kesahnya, aku bersedia, aku bersedia. 
Aku Kinar, umur 22.

Aku menggenggam undangan pernikahan bersampul merah dengan pita berwarna emas yang menghiasinya. Tertulis disitu dua inisial nama, B&G. 
Salah satu orang yang ada di inisial itu menelpon aku tadi pagi, menawarkan ajakan ngopi-ganteng  dengan iming-iming menraktir. Siapa yang tak tergiur tawaran traktiran di tanggal tua? Untungnya ia memilih café yang berada tepat di samping kantor aku.

“Baru keluar dari percetakan tadi malam. Sumpah, lu orang pertama yang nerima undangan ini. Spesial banget ga tuh?” ucapnya sampil menyeruput coffee luwak yang ia pesan.

Aku menatap matanya dalam-dalam. Unbelievable. “Thank you Gio, gue sangat amat tersanjung. Tapi gue masih ngga percaya sih. Ini serius?” tanyaku polos.

Pria itu hanya tertawa terbahak-bahak, aku berharap dia akan tersedak kopinya lalu terbatuk-batuk, tapi ngga sama sekali, dia telah meletakkan cangkirnya sesaat sebelum aku bertanya "ini-serius?".

“Gue iseng. Saking isengnya gue cetak seribu undangan” jawabnya santai dengan senyum yang masih tersungging di sudut bibir.

Aku ngga mengerti kenapa pandanganku tiba-tiba buram. Buram oleh air mata yang keluar. Aku terharu. Aku ngga ngerti kenapa aku seemosional ini. 

“Heh? Nar kenapa nangis? Lu masih ngga percaya atau apa?” tanyanya dengan wajah panik yang tidak dibuat-buat.

Aku menggeleng. Lalu menarik beberapa lembar tissue dalam tas lalu mengusap air mataku. “Sumpah gue ngga nyangka sama sekali. Lu yakin berkomitmen di umur 23?” Ia mengangguk. Oke, seorang pria di depan ku ini mengenalku dengan baik, karena ia tahu aku akan melanjutkan pertanyaan jadi ia hanya merespon dengan anggukan kepala bukan dengan jawaban panjang lebar ngga jelas.

“Gue kenal kalian dari SMA. Gue tau saat lu nembak Bella, saat lu pacaran sama Bella, saat LDR sama Bella yang kuliah di bandung dan lu kuliah di Jakarta. Oh my God, Gio asal lu tahu.. gue barusan nangis bahagia. Terharu. Tau kenapa? Karena gue jadi saksi dua orang teman gue yang gue kenal baik dari masa pacaran akhirnya memutuskan untuk married! Really.. you are awesome and crazy at the same time”

Gio nyengir. Kebiasaan, tanda saat dia udah ngga bisa berkata apa-apa. Pria di depan ku ini memang salah satu lelaki idaman saat masa sekolah. Pintar, tinggi, berkulit putih, kharismatik pula. Sayangnya, kharismatik Gio ngga mempan buat aku. Ngga ngerti deh kenapa.

“Kalau Bella ada di samping Gue. Gue yakin dia udah meluk gue karena terharu dengar kata-kata lu barusan. Eh, btw lu butuh dipeluk ngga Nar?” Refleks aku melempar tissue bekas yang telah ku pilin sedemikian rupa.
***
“And you, Mrs. Kinar. Situ masih betah single di umur yang…hmm..ke-22?” Aku mendesah. Rese banget si Gio ini, kenapa juga dia harus banting topic pembicaraan seenaknya.

“Hmm..” Aku hanya bergumam. Tidak menjawab pertanyaan sih sesungguhnya.

“Nar, dicari dong. Jangan fokus karir mulu” Kalimat sederhana itu diucap dengan ekspresi kasihan. Hih, emang aku senelangsa itu?

Aku menopang dagu dan mengetuk jari-jari di pipi. “Harus banget? Masih 22 juga kan. Lu aja nikah umur 23”

“Gini loh. Ibu Kinar yang otaknya brilian, anak marketing yang jago masarin produk cuma bego di urusan percintaan..gue nyuruh lu nyari. Gue tekankan kata Nyari. Kalau ngga sekarang kapan lagi. Mumpung masih bisa”

“Maksud lu mumpung masih bisa itu apa yo?” tanyaku ngga paham.

“Sebagai kaum wanita, ibu lu pasti udah nyampein ini sih. Cuma lu aja yang ngga connect soal beginian. Oke gue jelasin intinya, mumpung umur  masih 22, lu masih bisa selektif cari calon suami, lu mau yang kaya gimana, tipenya gimana, hidung mancungnya gimana, hobbynya gimana. Bebas. Bisa milih. Tapi, kalau lu udah umur 25 tahun lebih…oh men.. lu akan kesulitan buat selektif. Kenapa? Satu…tekanan orang disekeliling lu nyuruh married. Dua…ya lu akan tertekan hingga akhirnya akan menikahi siapa aja orang yang ngajak lu nikah.”

“Segitunya? Padahal itu baru umur 25an? Ah lu ngaco. Teori dari mana itu? Itu teori lebih cocok buat mereka yang berkepala tiga kali” Aku mendelik.

“Itu teori iseng buat nakut-nakutin lu”

“Tuh kan iseng…”

Ia melanjutkan “Tapi gue serius Nar. Cari gih, apa harus gue bantu cariin? Atau…” aku paling benci sama orang yang ngucapin kalimat ngegantung kaya gitu. Sok misterius.

“Atau apa?” tanyaku.

“Masih bisa belum move on dari bayangan Reno?” eits. Nama itu disebut lagi oleh Gio. Beneran nih Gio resenya tingkat kuadrat amat hari ini. Seharusnya aku membalas kalimat itu dengan “Ngga kok.. gue udah move on” Tapi kalimat itu ngga berhasil terucap.

Kali ini Gio menatapku dengan tajam “Sudah lima tahun sejak lulus SMA. Sudah tujuh tahun sejak lu putus sama Reno. Dan belum ada penggantinya sama sekali selepas itu. Menarik.”

Aku diam tanpa kata. OH GIO BYE! []


0 komentar:

Posting Komentar