Senin, 31 Maret 2014

[Writing Class] : Dia

Suasana warung tenda siang ini sepi, mungkin karena jam makan siang sudah berlalu sekitar dua jam. Hanya aku, penjual, dan seorang pria kurus berkacamata--yang sedang menelpon. Warung ini terlalu sepi sehingga aku dapat mendengar percakapan pria tersebut, percakapan sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Dan semua percakapan itu ditutup dengan sebuah pertanyaan “kapan sebar undangan gung?”. Aku menyeruput es jeruk yang ada sambil memainkan sedotannya sekali-kali. “wess.. semoga lancar ya gung sampai hari H, Aamiin.. Aamiin, ya.. sudah dulu ya, oke. Assalamualaikum
***
Sudah tidak ada jadwal mengajar di kampus setelah makan siang yang terlambat dua jam tersebut, aku memutuskan ke tempat percetakan. Bukan percetakan buku yang biasa ku kunjungi. Percetakan undangan. Aku menyebut namanya saat receptionist menanyakan “atas nama siapa mba?”. Lima menit berlalu, terdiam. Merenung. Mengapa aku bisa melangkahkan kaki ke tempat ini untuk yang pertama kali? Padahal dia sudah berkali-kali ke tempat ini, mengurus segalanya, sendiri. Semua karena percakapan pria kurus di warung.

“ini mba undangannya. Minggu depan semua selesai dicetak” tutur receptionist itu dengan ramah. Aku mengangguk, mengambil undangan milikku, dan memilih “menikmati” undangan yang sedang ku pegang sambil duduk di sudut ruangan.

Warnanya silver, sesuai permintaanku.

Aku membuka halaman pertama undangan, tertulis puisi hasil rangkaian kata buatannya. Puisi yang indah, bukan sebuah roman picisan. Mataku berkaca-kaca, bagian ini bukan permintaanku. Halaman kedua, tertulis namaku dan namanya, lokasi, dan jadwal acara. Halaman terakhir, tertulis janji seorang pria dewasa untuk wanita pilihannya. Pria itu dia, dan aku sebagai wanitanya. Ia amat mencintaiku, dan ia ingin semua orang tahu lewat undangan ini.
Ayah memilihkan pria yang paling tepat untuk jadi pendampingku, aku terlambat menyadari kalau dia akan menjadi yang terbaik. 
Dia yang terbaik. 
Lagi, bagian dari halaman terakhir ini bukan permintaanku.

Aku mengambil telepon genggam dari saku dan menghubunginya. Sambungan ketiga telepon itu diangkat, diawali sapaan hangat dan pertanyaan “Lagi dimana?”
Aku menghembuskan nafas. Pergi ke tempat ini menunjukkan aku berdamai dengan kenyataan. Dia yang terbaik, tegasku sekali lagi. “Di percetakan” jawabku singkat.
“Percetakan buku? Nyerahin naskah buku baru?” aku menggeleng, walau ia tak bisa melihat.
“Engga, aku lagi di percetakan undangan. Puisinya indah, terima kasih ya”. Ya Tuhan, saat ini aku ingin melihat ekspresi wajahnya.
“…” tidak ada jawaban, aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan di kantor itu.
“Minggu depan, semua undangan selesai dicetak. Minggu depan, kita sama-sama ya ke percetakan untuk ngambil si Silver yang berkilau ini?”
“Tentu” hanya itu jawabnya. Kalimat singkat yang diucap dengan senyum kemenangan yang terhias. Aku tidak bisa melihatnya tapi aku bisa merasakannya.
“Nanti kita sebar undangan sama-sama. Aku tak akan membiarkan kau mengurus ini sendirian lagi, maafkan aku”
Percakapan via telpon itu ditutup dengan sebuah kalimat yang tak pernah sama sekali ia berani ucapkan sebelumnya. “I Love You”
Aku sedikit ragu membalasnya dan terpatah untuk berkata “me-too”. Tapi aku berjanji mulai detik ini, aku akan belajar lebih banyak mengucapkan kalimat itu untuknya. Hanya untuknya, bukan untuk yang lain. Kisah yang lalu telah selesai. Dan hatiku telah memilih. Dia.




0 komentar:

Posting Komentar